Selasa, 07 Februari 2012

2. Saya, Bahasa Surga, dan Air

Anda tahu air bersih di Indonesia adalah komoditi?
Pedagang air bersih konsisten menukar air dengan beberapa lembar rupiah.
Air bersih itu langka. 

Tepat sore hari ini, beberapa jam yang lalu. Kami bertiga menghabiskan waktu di mushola kecil yang menjadi masjid termegah di tengah kota Praha.Saya dan dua orang Mesir, kami hendak melakukan sholat ashar sekaligus menunggu datangnya maghrib.

Awal waktu saya tidak ikut mendekatkan diri dengan Allah bersama mereka, bukan karena malas, karena sudah menjama'nya sebelumnya. Saya mengamati mereka mengambil wudhu secara bergantian, teratur, tertib, tanpa ada saling berselisih siapa yang harus maju duluan. Saya membiarkannya sembari menempel erat pada penghangat ruangan yang mencairkan jari-jari beku yang saya miliki.

Perbedaan satu jam yang kami miliki diisi dengan pembelajaran Al-Qur'an. Mereka kaget, seorang Indonesia seperti saya bisa membacanya dan berulang kalipun mereka berdecak kagum. Hingga akhirnya saya meminta mereka mereka mengajarkan saya makna kata-per kata. Di kala orang lain sibuk mencari native speaker untuk bahasa Barat, disinilah saya duduk bersama dua orang yang terlahir dengan bahasa "surga". Waktu maghrib belum tiba, pembelajaran dilanjut hingga menit terakhir.


Saya harus memotong semuanya ketika adzan berkumandang, kita harus mengingat Sang Kuasa. Beranjaklah saya ke tempat wudhu, bukan tempat yang megah layaknya yang dimiliki masjid-masjid di Indonesia. Hanya sebuah wastafel yang sopan tertempel di ujung sebuah toilet. Kala itu saya berpuasa dan melepas dahaga dengan air keran tersebut.

Dibukalah keran, nyatanya pikiran saya tidak berjalan terlalu jauh, air mengalir deras dan dibawahnyalah saya menengadahkan mulut. Beberapa saat dari belakang berteriaklah seseorang dengan mengawali katanya dengan "brother!" dan selepasnya saya tahu bahwa ia meminta saya memperkecil bukaan keran. Saya takjub dengan diri ini yang selalu kesal melihat orang lain melakukan penyianyiaan air, namun saat ini seakan sayalah yang menjadi contoh bagi apa yang saya kesalkan. Saya berpaling dan melakukan langkah pertama ke barisan sholat.

Pikiran radikal berlalu lalang di benak saya. Betapa berharganya air di negeri ini. Bahkan kebersihan airnya pun lebih baik daripada di negara asal saya, Indonesia. Dengan standar yang sudah baik, mereka tetap menjaga dan tidak berlebihan terhadapnya. Saya berpikir, negara kita bukan terpuruk, hanya membutuhkan kedewasaan untuk memperbaiki apa yang secara melimpah kita miliki. Air selalu bersama kita, kenapa kita tidak hidup rukun dengannya? Bandingkan dengan negara kecil ini, laut mereka tidak punya, namun mereka menjaga dan mensyukuri apa yang mereka miliki.

2 comments:

Anonim mengatakan...

Kisah yang penuh Makna

Pengagum Mas Gigilokuning.

Unknown mengatakan...

Terima kasih, semoga berguna ^^

Posting Komentar

Sepatah dua patah kata akan mendekatkan kita ^^