Jumat, 30 Maret 2012

4. Bayi Kesayangan, Remaja Harapan, dan Beban Negeri (penutup)

Remaja yang berprestasi, berkinerja baik, dan memberikan sumbangsih sama negeri. Sebaik apapun mereka, mereka itulah para pemberi beban pada negeri. Hanya masalahnya apakah beban tersebut sepadan dengan sumbangsih yang diterima negeri?

Beban Negeri
Ada beberapa hal yang menjadi pemikiran Mr.Gigi waktu itu: (1) kata-kata "kesejahteraan warga negara menjadi tanggungan negara", (2) Makanan, dan (3) Air. 

Ada hal yang dengan mudah didukung dari kata-kata "kesejahteraan warga negara menjadi tanggungan negara" karena memang alasan dibuatnya suatu negara adalah untuk mensejahterakan rakyatnya. Namun dilain sisi, rasanya tidak adil apabila orang-orang yang tidak mau bekerja, berpikir dan hanya menunggu menjadi tanggungan negara. Apalagi disaat dengan kemampuan seadanya, sebuah negara harus mengalokasikan besaran yang sama terhadap kaum berupaya dan pemalas (tuk berpikir ataupun bekerja).

3. Bayi Kesayangan, Remaja Harapan, dan Beban Negeri (bagian 2)

Bayi terlahir di dunia sebagai rahmat, kebahagiaan tersendiri bagi keluarga yang dititipi. Apa jadinya bila seorang bayi terlahir di dunia? Ia tidak akan terus menjadi bayi yang mungil yang hanya dipersenjatai tangis dan ompol. Mereka akan melata, berjalan, dan kemudian berlari. Menjadi seorang pengisi kekosongan pemuda di negeri.  

Remaja Harapan
Kita masuk sekarang ke bagian pemuda yang kata orang menjadi tulang punggung dan harapan suatu bangsa. Idealnya semua bayi akan menjadi pemuda yang baik, terpercaya, beretika, berilmu, dan ratusan traits lain yang tentunya positif. Namun hal tersebut sulit terjadi, bahkan di negeri yang sudah sangat maju sekalipun. Pastinya akan selalu ada kriminalitas dan beberapa hal buruk yang terkait dengan pemudanya. 

Lupakan hal yang negatif tuk sejenak dan mari melihat hal yang sedikit lebih positif. Sebut saja para mahasiswa yang kurang berkembang di kampusnya. Pernah terbersit di logika bahwa memang sudah menjadi kewajiban kampus untuk mengakomodasi semua jalur positif pengembangan tiap pemuda. Entah dari musik, olahraga, organisasi, dan apapun. Seharusnya pula tidak ada seorang pun mahasiswa yang kerjanya hanya memegang buku. Apabila suka dengan kebukuan, aplikasikan melalui grup keilmiahan. Pastikan apabila anda suka dengan sesuatu, berkumpullah dengan grup dimana anda bisa berbagi ketertarikan yang sama.

2. Bayi Kesayangan, Remaja Harapan, dan Beban Negeri (bagian 1)

Senior selalu berkata, pola pikir mahasiswa dan orang yang telah keluar dari dunia kampus akan berbeda. Setelah berada di luar, pemikiran jadi terbuka dan bisa melihat semuanya dari sisi yang berbeda. Kalimat tersebut klise, kala itu absurd, namun sekarang Mr.Gigi dapat mengiyakan. Entah dipaksa, memaksa atau terpaksa. Yang jelas, iya. 

Suatu masa saya pernah berpikir, Indonesia ini bangsa yang besar dan serba kaya. Dari segi geografis, iya benar tidak diragukan lagi. Dari segi kekayaan alam, iya benar juga. Dari segi jumlah penduduk, iya kita sangat gemuk. Dari segi angka kemiskinan ya kita "gemuk pula". Dari segi jumlah orang yang kaya juga ternyata iya kita kaya. Negeri kita manarik, serba kaya dan serba miskin. 

Puter otak saya berlanjut pada hal lain. Sepertinya ada yang salah dengan negeri kita, khususnya masalah lahirnya generasi baru, perkembagannya, hingga efeknya pada Indonesia. Nah bginilah ceritanya... 

Bayi Kesayangan
Bicara tentang bayi, kalau diperhatikan golongan sangat mampu cenderung mempunyai keturunan 1-3 orang. Apabila lebih dari itu, biasanya mereka adalah diangkat atau kejadian luar biasa yang cukup jarang ditemui, memang sengaja beranak belasan. Sama seperti para orang tua jaman terdahulu, yang jumlah anak-anaknya bisa menjadi satu kesebelasan tersendiri. Mereka akan menjawab, wong saya mampu. 

Golongan menengah biasanya cukup rasional memilih jumlah anak mereka. Mereka mampu mencukupi kebutuhan mereka, namun jarang bermewah. Katakanlah mereka salah mencermati slogan "saya sudah minum 2" salah satu produk minuman probiotik menjadi "saya punya 2". Dua orang anak menjadi salah satu kalimat yang sering didengar olehku, setidaknya tahunan yang lalu. Kini? Menghilang.

Senin, 05 Maret 2012

1. Pembelajaran Tentang Doa

Berulang kali saya utarakan bahwa hidup di Praha seakan menjadi pesantren bagi saya.Waktu berlalu, tanpa disadari titel tersebut bertambah menjadi "pesantren kilat", semenjak roommate berganti menjadi seorang egyptians. Dengannya saya hidup di lingkungan yang lebih dari kondusif tuk belajar lebih mengenai agama yang sudah 22 tahun berdiri beriringan dengan nama, umur, dan status di tanda pengenal yang kami sebut KTP ;p

Di luar kamar, tiap setengah bulan sebuah kelompok pengajian yang diinisiasi oleh sedikitnya 3 orang Indonesian digelar. Pengajian tersebut bukan kegiatan misionaris, hanya murni pemberian pembekalan dan nuansa agamis bagi anak-anak mereka yang tinggal di negeri yang kurang mengenal agama. Di sanalah saya tiap waktunya mendapati pengetahuan baru.